PENDAHULUAN
Kepemimpinan di dalam Muhammadiyah tidak boleh tidak akan merefleksikan kepemimpinan Islam. Sedang jati diri Muhammadiyah itu terletak di dalam kesinambungan dengan kepemimpinan Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Kepemimpinan Rasulullah semestinyalah menjadi keteladanan dari kepemimpinan Muhammadiyah. Tokoh-tokoh Muhammadiyah senantiasa/membakukan/mengkondisikan nilai-nilai kepemimpinan Rasulullah dalam pergerakan Muhammadiyah dahulu maupun yang akan datang.
Kepemimpinan Muhammadiyah haruslah sebuah kepemimpinan yang tanggap kepada kemanusiaan dan hubungannya dengan lingkungannya. Di samping itu ia menampilkan dan mendudukan pergerakan Muhammadiyah di abad ini, dalam kedudukan yang mengatasi zamannya. Al-Qur’an mengajarkan :
“Niscaya sungguh Kami telah ciptakan manusia itu dalam rona yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami balikkan dia ke dalam tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. (S. St-Tien/95:4-5)
Kepemimpinan Muhammadiyah sebagaimana diteladankan oleh Rasulullah adalah kepemimpinan dengan orientasi pelayanan. Rasulullah mengingatkan :
“Sesungguhnya Allah telah menuliskan/menetapkan kebaikan pada segala sesuatu. Maka apabila kamu membunuh (dalam peperangan), lakukanlah dengan cara yang baik; dan apabila kamu menyembelih (hewan) sembelihlah dengan sembelihan yang baik, dan hendaklah seseorang kamu mempertajam pisaunya sehingga sembelihan itu dapat mati dengan baik”. (HR. Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidhi, Sunan al Darimi, Sunan Ibn Majah, dan Sunan al Nasa’i (Hisyam Al Thalib, 1993-1414, part one)
Kepemimpinan yang terselenggara di dalam Muhammadiyah hendaknya menampakkan dinamika organisasi pergerakan Islam yang meliputi kegiatan menuntun, membimbing, memandu, mengarahkan dan menunjukkan jalan yang diridhai Allah. Tugas kepemimpinan Muhammadiyah tercermin di dalam gaya kepemimpinan para tokoh yang memimpin Muhammadiyah selama ini. The Founding Father Muhammadiyah; KH. Ahmad Dahlan memiliki sebuah kepribadian yang utuh yang beliau terjemahkan ke dalam kepemimpinan Muhamamdiyah yang solid dan penuh ghirah fid dien.
Para tokoh Muhammadiyah sesudah Ahmad Dahlan, telah meneruskan nilai-nilai kepemimpinannya. Mereka adalah Kiai Haji Ibrahim (1874-1934), Kiai Haji Fakhrudin (1890-1929), Kiai Haji Hisyam (1883-1934), KH. Mas Mansyur (1896-1946), Ki Bagus Hadikusuma (1038-1102 H), AR. Sutan Mansyur (1895-1985), KH. Yunus Anis (1903-1979), Kiai Haji Abdul Razaq Fakhrudin (1916-1995), Kiai Haji Azhar Basyir, M.A. (1928-1994), Prof. DR. H.M. Amien Rais, M.A. (1944- ), Prof. DR. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif (1935- ).
Kepemimpinan Muhammadiyah dari Kiai Haji Ahmad Dahlan sampai dengan Kiai Haji AR. Fakhrudin menggambarkan kepemimpinan kekiaian/keulamaan. Sedangkan kepemimpinan Muhammadiyah semenjak Kiai Haji Amad Azhar Basyir, M.A. sampai dengan Prof. DR. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif memunculkan sosok kepemimpinan perpaduan antara ulama dan intelektual. Bahkan dua orang yang terakhir lebih menampakkan kepemimpinan intelektual. Hal ini tidak berarti bahwa kedua beliau ilmu agamanya tidak mendalam. Bahkan paham keagamaan keduanya luas.
Sebenarnyalah bahwa kepemimpinan Muhammadiyah di atas melukiskan sebuah konfigurasi kepemimpinan Islam yang handal. Sifat-sifat kepemimpinan mereka telah mewarnai perjalanan sejarah Muhammadiyah sesuai dengan mereka masing-masing : Himmah yang tinggi, ketulusan, kesederhanaan, amanat dan khidmat tanpa pamrih, karena dan untuk Islam.
KEPEMIMPINAN UMMAT
Rasulullah SAW, setelah tiba di Madinah dari hijrahnya yang bersejarah, seluruh muslim beliau bentuk menjadi ummat. Beliau mempersaudarakan/ mentaakhkhuhkan antara anshar dengan muhajirin menjadi sebuah komunitas muslim. Ummat adalah kesatuan dari orang-orang yang mempunyai persamaan aqidah dan iman. Secara etimologi, ummat mengandung arti pemimpin/imam. Dalam surat An-Nahl/16:120 :
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah lagi hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersatukan (Tuhan)”.
Dalam ummat terkandung arti pula sumber, pangkal, asal, ketangkasan dan kecakapan, syariat, orang yang menghimpun segala kebaikan. Dengan kata lain di dalam ummat terdapat kualitas, keunggulan dan keistimewaan. Surat Ali Imran/3:110 :
“Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ….”
Kepemimpinan yang merefleksikan keteladanan, patuh dan hanif (seorang yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya – Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1421, hal. 240). Kepemimpinan semacam inilah yang harus dikedepankan. Dalam sebuah hadits disebutkan : Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada ummat ini (umat Islam) setiap permulaan abad seseorang yang akan memperbaharui/memperbaiki urusan agamanya (H.R. Abu Daud). Kepemimpinan yang dapat mengarahkan ummat dan menaruh kearifan didalamnya sangat didambakan di dalam ummat Islam dewasa ini.
Jejak langkah KHA Dahlan, melukiskan sebuah sosok pemimpin yang tulus dan dengan himmah yang tinggi memulai melancarkan kepemimpinan yang hidup untuk kebangkitan umat. Beliau menyudahi tugasnya dengan mewujudkan Muhammadiyah, agar hasrat tajdidnya terus menggelinding, ummat mengamalkan Islam secara arif dan tercerahkan. Kiai Haji Ibrahim pemegang estafeta kepemimpinan Muhammadiyah berikutnya, seorang ulama dan berilmu tinggi. Beliau mengirim lulusan putera/puteri dari Mu’allimin/Mu’allimat ke seluruh Indonesia dengan paket “anak panah Muhammadiyah”. Beliau pemimpin pejuang untuk umat melalui amal usaha Muhammadiyah.
Pemimpin-pemimpin Muhammadiyah yang lain : KH. Fakhruddin, KH. Hisyam, KH. Mas Mansyur, KI Bagus Hadikusuma, H. AR Sutan Mansyur, KH. Yunus Anis, KH. Ahmad Badawi, KH. Faqih Usman, KH. AR Fakhruddin, KH. Ahmad Anzhar, M.A., Prof. DR. H.M. Amien Rais, M.A., Prof. DR. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif sebagai pemimpin-pemimpin umat telah memberikan kebaikan (al-birru). Menurut al-Biruni (al-Futuwwa) kebaikan yang terbesar di bumi ini adalah pengabdian dan dedikasi terhadap umat manusia. Kepemimpinan mereka memancarkan nilai-nilai kelembutan, pemurah, toleransi, kejujuran, kerendahan hati, keluhuran budi dan lapang dada, sebagaimana yang diperintahkan dalam Qur’an dan Sunnah jauh dari dorongan nafsu dan kepentingan pribadi (Syed Habibul Huq Nadwi, 1982:3334).
Nilai-nilai kepemimpinan para pemimpin Muhammadiyah itu sepatutnya ditumbuhkan dan dikembangkan secara subordinative organisasional di seluruh level Muhammadiyah. Hal ini dapat menimbulkan dinamisasi dan kegairahan bermuhammadiyah. Abad ini (abad ke-21) menyimpan berbagai keadaan : unpredictability-tak dapat diprediksi (pen), instability-tak stabil (pen), disintegrity-keterbelahan/ketercerai-beraian (pen), ambiquity-mendua/kegamangan (pen) (LPPAI, UII, 2000-20). Keadaan tersebut haruslah dihadapi oleh Muhammadiyah dengan segenap kecerdasan dan arif.
KEPEMIMPINAN MUHAMMADIYAH MASA DEPAN
Tuntutan perubahan zaman mengharuskan terjadinya suatu sikap yang mengakomodasi nilai-nilai Islam yang baku tempat berpijak para pemimpin Muhammadiyah melakukan aktifitas kepemimpinan mereka. Keserasian nilai-nilai Islam dengan kepemimpinan mereka dapat dikembangkan sebagai perubahan dan perkembangan yang semakin adaptif dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Di bawah ini disajikan karakteristik pemimpin Islam masa depan (LPPAI. UII., 2000:29-32) sebagai berikut :
1. Visionary Thinking (Berpikir Ke Depan), yakni
2. Strategic Management (Manajemen Siasat)
3. Leadership Skill (Keterampilan Kepemimpinan)
4. Interpersonal Communication (Hubungan Antar Person)
5. Self Motivation (Memotivasi Diri)
6. Self Management (Manajemen Diri)
7. Effective Communication (Hubungan Yang Efektif)
Dalam sejarah kepemimpinan Islam dapat diketengahkan disini kepemimpinan dari al-khulafa ar rasyidun (khalifah empat yang lurus lagi cerdas). Abu Bakar seorang pemimpin yang kalem (low profile) dan percaya diri (self convident); Umar bin Khaththab terbuka (transparan), mudah menyesuaikan diri (adaptif) dan dinamis (bersemangat); Usman bin Affan familiar (akrab) dan humanis (kasih sayang terhadap sesama); Ali bin Abi Thalib : Islam centris (bersifat memusat pada Islam dan argumentatif (logis). Keempat khalifah itu sangat luruh dalam nilai-nilai kepemimpinan Nabi (keteladanan) dan menyatu dengannya.
Kepemimpinan Muhammadiyah di masa depan dapat diakses melalui rekrutmen dari amal usaha Muhammadiyah dan kepemimpinan strukturalnya. Di samping itu pemimpin yang mencitrakan, adalah pemimpin yang merupakan ruh dan jiwa umat, memiliki kemandirian, jujur, adil dan ikhlas. Pemimpin itu haruslah luhur akhlaknya, sehat pendapat, teguh pendirian, tinggi cita-citanya, bersih namanya (clean leader), mengetahui kepentingan umat, bukan pemboros dan bukan ahli maksiyat, berprestasi, tidak ambisius (M.Al Ghazali, 1985:342).
Kaderisasi kepemimpinan Muhammadiyah selalu diselenggarakan di dalam Muhammadiyah sendiri dengan mempersiapkan pimpinan penerus. Dalam hal ini suatu upaya penciptaan suasana yang kondusif amat digalakkan bagi lajunya kaderisasi di dalamnya, secara simultan. Ayat berikut ini memberikan sebuah pesan kepemimpinan yang dapat tumbuh subur dalam suasana ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman :
“…barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi dan kaum shadiqin, para pahlawan syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (S. An-Nisa/4:69).
Di sini ditegaskan adanya suasana merangsang tumbuhnya pengikut yang mencintai orang yang diikutinya (pemimpin) yang merupakan bagian dari nikmat Allah. Pemimpin itu adalah pribadi yang memiliki keutamaan. Al-Qur’an menjelaskan :
“Yang demikian itu adalah karunia Allah dan cukuplah Allah Maha Mengetahui (segala sesuatu)”. (S. An-Nisa/4:70).
Kiranya amat mendesak suatu upaya peningkatan kepemimpinan umat dalam rangka kebangkitan Islam.
Sosok kepemimpinan Rasulullah SAW mencerminkan kerahmatan yang dikaruniakan Allah kepada manusia, keadilan sebagai syariatnya; kasih sayang sebagai nalurinya; keluhuran budi sebagai pekerjaannya; derita manusia adalah kebaktian ibadatnya (Khalid Muhammad Khalid, 1984: 21-109-183-227-265). Sifat-sifat Rasulullah itu diteruskan oleh khulafa ar-rasyidin, yakni Abu Bakar yang menyembulkan kesetiaan, Umar dengan kejujuran dan keadilan, Usman dengan kekhusyukan dan kesederhanaan dan Ali bin Abi Thalib dengan keberaniannya.
Dilihat dari ajaran Futuwwah (kekesatriaan), kepemimpinan di atas melukiskan seseorang yang ideal, mulia dan sempurna. Menurut kaum sufi, futuwwah adalah aturan tingkah laku terpuji yang mengikuti teladan nabi-nabi, para wali, orang-orang bijak, dan para sahabat serta kekasih Allah. Futuwwah dari kata fata yang jamaknya fityan yang berarti pemuda-pemuda yang tampan dan gagah berani (Ibnu al-Husain as-Sulami, 1992:10-11)
KHULASHAH
Belajar dari nilai-nilai perjuangan para pendahulu Muhammadiyah dapat diambil kesimpulan/khulashah sebagai berikut :
© 2018-2024. Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih
Admin
Keluhan, Kritik dan Saran
Sorry, I'm offline at the moment. I'll be back online in the next 10 hours 28 minutes
20:00Informasi
Medical Check Up
Sorry, I'm offline at the moment. I'll be back online in the next 10 hours 28 minutes
20:00Pendaftaran Rawat Jalan
Khusus Pasien BPJS
Sorry, I'm offline at the moment. I'll be back online in the next 10 hours 28 minutes
20:00Pendaftaran Rawat Jalan
Pribadi, Asuransi, dan Perusahaan
Sorry, I'm offline at the moment. I'll be back online in the next 10 hours 28 minutes
20:00